Pada malam-malam yang jatuh di Surabaya, aku seringkali berdiri di tengah semilir angin menghadap ruanganmu dibalik pintu yang selalu terbuka itu. Merasakan tiap embusan angin yang merambat meliuk dibalik celah pakaian, juga dingin yang memanjat tubuh yang ingin menggeliat. Lalu, munculah pemikiran bahwa kamu akan keluar dari sana dan melenggang di selasar ubin merah membuatku pun tercekat. Berpegangan pada railing balkon yang mulai menguning besinya, aku mulai tersadar; kamu memang diciptakan persis seperti surya.
Tuhan menciptakan surya untuk memperkenalkan kehangatan pada makhluk di jagat raya, sementara bapak ibumu melahirkan kamu untuk menjamah tubuh-tubuh dingin yang mulai menghangat sebab kamu ada di sisi mereka.
Aku perhatikan di setiap konversasi yang kamu bangun, setiap kesempatan interaksi yang terjalin wajar semestinya, kamu memang dicipta untuk pandai merangkul. Aku tidak menyalahkan kalau banyak hati yang jatuh kepadamu, aku juga tidak menegasikan kalau banyak mata yang tertuju hanya kepadamu, sebab ternyata aku pun begitu.
Aku mungkin sama dengan perempuan-perempuan lain yang hanya bisa mendamba dan menikmati hangat senyummu setiap kali kita jumpa. Bedanya, aku mungkin lebih perasa, aku lebih tahu kalau sehangat-hangatnya kamu pada manusia, kamu akan lebih hangat pada perempuan yang kamu puja.
Dan aku tersadar tepat saat aku berdiri menghadap pintu yang terbuka lebar-lebar setiap saat.
Kamu jatuh pada perempuan lain, mungkin dua perempuan yang sama-sama aku kenal baik … dan tidak ada frasa yang bisa mewakili isi kepalaku, selain kehancuran.
Tubuh dingin yang mulai menghangat.
Kota lama yang lebih panjang waktu pagi daripada siang yang menyengat.
Kebahagiaan yang perlahan-lahan hilang, berganti sakit yang melekat.
Dan kamu yang terpikat oleh dia, sementara aku pun tercekat.
Begitulah aku akan pergi, lagi.
Setelah mencintaimu pada malam-malam yang basah, dibalut keharuan dan ragam kekhawatiran, dan pada suatu waktu yang aku yakini selamanya, aku akhirnya akan pergi, pagi-pagi, untuk kesekian kalinya.
Pintu yang terbuka seperti memanggil masuk, membiarkan manusia beristirahat dari keletihan dan kenangan. Ruangan yang ternyata sunyi dan entah berapa banyak manusia yang pergi dengan ketergesaan. Di dalam aku ada anak kecil yang ingin ditemani, tetapi nyatanya kamu hanya si sunyi.
Ratusan kali aku memanggilmu, apakah kamu mendengar?
Meminta berlayar bersama di kepalaku, meminta ditemani di sisiku, apakah kamu mendengar?
Di pikiranku, kamu jatuh hati pada temanku, dan aku terombang-ambing di antara pulau-pulau yang dekat dengan gelisah … apakah kamu mendengar?
Memasuki pintu yang terbuka, seperti kampung halaman yang belum pernah kamu datangi, dan berharap menemukan jemarimu yang mengisi sela-sela jemariku … apakah kamu mendengar?
Ah, sudahlah. Sejak awal memang semua ini hanya omong kosong.
Aku berharap pintu yang terbuka itu bisa kamu tutup rapat-rapat. Kamu tidak lagi hangat, dan aku perlahan-lahan kembali membeku sekeras batu.